OPTIMISME membangun pendidikan di wilayah perbatasan merupakan hal yang mutlak bagi Hj. Suraidah, S.KM, hingga saat ini Sekolah Tapal Batas yang ia dirikan di Sungai Limau Kecamatan Sebatik Barat Kabupaten Nunukan itu, terus berkembang menjadi Madrasah Ibtidaiyah (MI) demi merealisasikan mimpi anak anak Buruh Kebun Kelapa Sawit yang bekerja tepat di garis perbatasan Indonesia-Malaysia.
Kepeduliannya mendidik anak-anak diberanda NKRI, bukan perkara mudah, jarak rumah hj Suraidah beberapa ratus meter dari barak pemukiman TKI, ia berjalan kaki mengunjungi orang tua calon wali murid di perkebunan kelapa sawit Malaysia, demi menyakinkan agar anak anak mereka dapat bersekolah di Indonesia.
Karena Resiko melintasi tapal batas Negara, buru perkebunan kelapa sawit khawatir menyekolahkan anak-anaknya di Indonesia sehingga mereka tak mengizinkan putra putrinya menyeberangi perbatasan yang jaraknya 4 kilometer dari pemukiman TKI.
Tantangan terberat yang mereka pikirkan, anak anaknya harus mendapatkan izin polisi perbatasan Malaysia, untuk menghindari kejaran petugas jika melintasi perbatasan tanpa dokumen kewarganegaraan, bila anak-anak itu tertangkap maka dikurung selama dua hari.
Sejak hijrah ke pulau Sebatik Kabupaten Nunukan, pensiunan Dosen Universitas Hasanuddin Makassar ini, menemukan anak-anak TKI itu putus sekolah bahkan tidak pernah mengenyam pendidikan, orang tua mereka hanya bekerja dan tidak mampu menyekolahkan anaknya di Malaysia karena kondisi ekonomi yang pas pasan dan status kependudukan.
Niat adalah awal dari segalanya.
Kerisauan ibu yang akrab disapa Ummi Suraidah terhadap anak anak TKI di perbatasan, menggugah nuraninya untuk meretas buta aksara di barak para pahlawan devisa itu. Ia kemudian mendirikan sekolah tapal batas tepat dibawah rumah panggung miliknya.
Awalnya hanya menyekat kolong rumah dengan tripleks untuk membagi ruangan tempat anak-anak belajar, tanpa dilengkapi meja, kursi dan fasilitas sekolah pada umumnya. Anak didiknya hanya beralaskan tikar plastik dan potongan balok kayu yang dijadikan meja.
Dengan kegigihan atas kepeduliannya mendidik generasi bangsa di tapal batas, ibu bidan memicu perhatian masyarakat desa, hingga ada yang menjadi relawan mengabdikan diri sebagai tenaga pengajar di sekolah itu.
Perhatian terhadap aksi kemanusiaannya itu, mulai hadir menghiasi kepedualiannya, Rayon Militer (Koramil), relawan, camat dan guru ikut membantu Suraidah.
TNI dan Camat setempat menjamin kewarganegaraan anak-anak perbatasan dengan menerbitkan kartu jaminan khusus, adanya kartu itu anak-anak yang hendak bersekolah ke Indonesia bebas setiap hari melintas di garis batas yang membelah kedua Negara itu.
Kaki kecil mungil itu melangkah menyusuri jalan setapak disela perkebunan kelapa sawit menuntut ilmu ke negaranya sendiri yakni Indonesia. Seragam merah putih membakar semangatnya ke Sekolah Perbatasan usai sholat Subuh hingga tiba pada jam 6 pagi di desa itu.
Sembilan tahun berlalu, kisah kelam perjuangan anak-anak TKI di perantauan sungguh memilukan, sejatinya Suraidah memperkenalkan lagu Indonesia Raya dan empat pilar kebangsaan demi menanamkan nasionalisme kepada siswa didiknya, agar mereka lebih mengenal Indonesia di tapal batas negeri itu.
Pesantren Untuk Pendidikan Karakter Anak TKI
Akhirnya siswa mulai bertambah awalnya hanya 40, kini meningkat hingga ratusan anak didik sejak Madrasah Ibtidaiyah (MI) Darul Furqon diresmikan pada 2014 silam, kapasitas ruang kelas di kolong rumah tak layak lagi menampung kegiatan belajar mengajar siswa.
Tiga tahun kemudian, berkat bantuan berbagai pihak, baik kalangan pengusaha maupun BUMN, sekolah itu pindah ke lokasi baru didesa yang sama dengan penambahan ruang kelas, meliputi pendidikan anak usia dini (PAUD), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Diniyah (MD), Pendidikan Kesetaraan Paket A, B, c dan Penddikan Keaksaraan (KF).
Kini siswa tak lagi beralaskan tikar plastik, fasilitas Sekolah terlihat lengkap, termasuk pembangunan 4 gedung permanen dan 3 bangunan yang terbuat dari kayu (non permanen) serta satu ruang kepala sekolah dan dua asrama siswa dan tenaga pengajar, selain Suraidah juga ada anggota TNI yang tinggal di area sekolah tersebut melengkapi suasana pendidikan anak anak di wilayah perbatasan itu.
Hanya saja jaringan telekomunikasi di desa itu belum terjangkau sehingga pembelajaran daring dimasa pandemik Covid 19 ini tidak efektif dilaksanakan. Hal ini juga membuat para guru berfikir dua kali tinggal di pedalaman itu, selain akses jalan yang masih setapak, jarak dari ibu kota kecamatan cukup jauh.
“ Sejauh ini ketika berbicara ketenagakerjaan atau berbicara tentang guru, kalau memang aksesnya sudah layak guru tidak mungkin menolak kesana, sementara kalau bicara soal SDM, tenaga lokal harusnya yang mengabdi disana, karena aksesnya jauh dan tidak layak, guru lokal enggan mengabdi di perbatasan,” kata Runny Porong salah satu staf Sekolah Tapal Batas, Kamis (17/3) yang sempat terhubung dengan jaringan seluler di Kecamatan Sebatik Nunukan.
Tenaga guru yang selalu hadir untuk murid muridnya adalah Hj Suraidah, Alumni Pasca Sarjana Prince Of Songkla Thailand ini pernah mengajak relawan dari luar Kabupaten Nunukan namun berselang beberapa bulan tenaga pengajar itu tak bertahan lama di desa Sungai Limau lokasi Sekolah Tapal Batas.
Dengan kegigihannya, Suraidah merekrut 3 warga lokal untuk membantunya mendidik anak anak TKI dan bertstatus guru tetap sekaligus merangkap sebagai tenaga administrasi disekolah itu.
Mimpi membangun sekolah pesatren yang berbasis madrasah telah terwujud, kedepan rencananya akan bekerjasama dengan salah satu yayasan di Negeri Jiran-Malaysia untuk mendirikan sekolah Tahfidz Quran bagi anak-anak TKI di perbatasan, demi pembentukan karakter anak bangsa yang selama ini tertinggal jauh dari pendidikan layaknya Kota-kota besar di Indonesia.
“ Ada beberapa anak yang tidak paham tata cara salam dan ibadah, karena sejauh ini nilai yang kita dapatkan dari proses pendidikan itu, anak-anak ada yang sudah mampu menjadi imam di lingkungan keluarganya dan mengaji bahkan ada yang mengajari orang tuanya membaca,” lanjut Runny.
Sistem pembelajaran Sekolah Tapal Batas, kata Runny, tetap mengacu ke kurikulum yang sudah menjadi ketentuan Kementrian Agama Republik Indonesia yakni PMA RI No. 2 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Penguatan Pendidikan Karakter yang merupakan bagian dari gerakan revolusi mental.
Pendidikan karakter tersebut meliputi nilai nilai humanisme, pengembangan keilmuan dan menanamkan kecintaan dan kebanggaan kepada Indonesia, Pancasila, UUD 1945, Persatuan Indonesia dan NKRI.
“ inilah yang selama ini dikembangkan oleh ummi Suraidah , pendidikan Pesantren berbasis Madrasah di Sekolah Perbatasan ini,” ungkap Runny.
Perjuangan dan optimisme Hj Suraidah membangun pendidikan, seolah menjadi pukulan telak bagi tenaga guru di Indonesia, ia hanyalah seorang bidan praktek yang pengabdiannya tanpa pamrih rela meninggalkan kampung halamannya di Sulawesi Selatan dan memilih menetap di suatu perkampungan terpencil demi mencerdaskan kehidupan bangsa di ujung negeri yakni Desa Sungai Limau Kecamatan Sebatik Kabupaten Nunukan wilayah yang berhadapan langsung dengan Malaysia.***
Penulis : Taufik