Press "Enter" to skip to content

Puasa yang Menggugat : Tirakat yang Tersekat Tembok Kelas

Oleh : Muh. Rafli Rizaldi (Pengurus Lakpesdam NU Nunukan)

PUASA itu pencerah. Ia bagai hujan deras yang membasuh debu-debu jalanan, rumah bagi orang terpinggirkan di sepertiga malam, sementara para pemilik modal berpesta di restoran berbintang, seolah puasa hanya milik mereka yang sanggup membeli hidangan mewah saat berbuka. Puasa adalah perintah Sang Pencipta yang memahami manusia kerap terperangkap bukan hanya dalam lumpur dosa, tapi juga dalam sistem yang memelihara kesenjangan yang kaya makin rakus, yang miskin makin terhimpit.

Puasa bukan sekadar tradisi musiman seperti kampanye akbar yang berbicara tentang bagaimana kelayakan hidup rakyat kecil Lima tahun kedepan, tapi diam ketika kebijakannya merugikan rakyat itu sendiri. Kita tahu, politik dan keserakahan adalah dua sisi mata uang yang sama yaitu merajut jaring kebohongan, mengalihkan isu, sambil terus mengeruk hak orang miskin. Puasa seharusnya melepaskan ikatan itu, tapi bagaimana mungkin jika kebijakan publik masih membiarkan anak-anak stunting di tengah persoalan negeri?

Sebab puasa bukanlah ritual kosong yang hanya menuntut pantang makan nasi, sementara elit penguasa di baliknya, seperti api yang menggoreng harga sembako. Kita boleh saja menolak seteguk air di siang hari, tapi jika di malam hari kita diam melihat tetangga yang sedang kelaparan, bukankah puasa kita hanya akal-akalan? Puasa sejati menuntut lebih, membersihkan pikiran dari sikap acuh tak acuh pada nasib pekerja yang diperas, memangkas lidah dari pembenaran atas korupsi anggaran kesehatan, pendidikan dan mengubur nafsu untuk ikut dalam arus pola hidup konsumtif, cukup sulit untuk berbicara keadilan.

Persoalannya, sanggupkah kita menahan amarah saat tau utang negara membengkak untuk perjalanan dinas pejabat, sementara rakyat dipaksa gigit jari? Mampukah kita menolak bisikan untuk membeli produk perusahaan yang meracuni sungai dengan limbah, sekalipun harganya murah? Ataukah kita hanya terjebak dalam puasa instan berbagi foto makanan buka puasa di medsos, tapi menutup mata saat petani kehilangan lahannya untuk tambang ilegal?

Inilah yang terjadi, banyak orang berpuasa, tapi mata tetap jelalatan menilai kekurangan orang lain, sementara ketimpangan sosial dianggap takdir. Perut kosong, tapi mulut masih mencaci orang yang memperjuangkan upah layak. Tubuh lemas, namun tangan masih menggenggam uang dari proyek yang mengorbankan lingkungan. Puasa seperti ini ibarat penguasa yang membagikan kebahagiaan ditengah penderitaan, ini adalah bentuk kejahatan yang terselubung.

Puasa yang hakiki mestinya menjadi cara pandang baru jika di bulan ini kita bisa menahan ego, mengapa di luar Ramadhan kita saling tikam dengan ucapan yang tajam?mengapa kita takut bersuara ketika hak-hak perempuan dibungkam dengan dalih keadilan gender? Puasa sejati bukan tentang pujian atau pengakuan di dunia nyata maupun maya, tapi keberanian membongkar kedok kebersamaan yang dipelintir untuk melegalkan kekerasan, diskriminasi, dan pembungkaman.

Maka dari itu, janganlah puasa jadi topeng. Jangan bangga kalau sedang berkuasa, sementara kekuasaan itu tak pernah berwujud kemanusiaan, Puasa sejati adalah ibadah tanpa pencitraan, tanpa mengumbar quote yang mendukung pemimpin yang menghisap sendi-sendi kehidupan rakyat. Ia adalah kesadaran bahwa setiap helaan napas harus menuntut udara bersih bagi masyarakat sekitar pabrik, setiap langkah harus menyuarakan keadilan bagi korban salah tangkap, dan setiap kata harus membela mereka yang dipenjara karena kritis bersuara.

Ramadhan akan pergi, tapi taqwa harus tetap mengalir seperti sungai yang membersihkan aliran yang dilewati. Taqwa yang bukan sekadar ritual, tapi keberpihakan, menolak diam ketika penguasa menggusur hutan adat, ketika asap pabrik menggantikan udara segar, dan ketika agama dijadikan tameng untuk menindas. Sebab, puasa yang tak mengubah apa pun kecuali jadwal makan, adalah puasa yang diam-diam bersekongkol dengan kezaliman.

Namun, bisakah kita mengukur kesalehan bukan hanya dari ibadah ritual, melainkan dari keberpihakan pada yang tertindas? Ketika hutan dirampas untuk komoditas, apa yang membungkam suara umat, apakah ketakutan, ketidaktahuan, atau keengganan mengorbankan keuntungan pribadi? Jika puasa tak melahirkan perubahan sosial, apa indikator bahwa ibadah kita bermakna? Akankah sungai ketaqwaan terus mengalir dalam diam, atau kita berani menjadikannya gelombang pembaru yang menghancurkan sistem yang rusak?

Taqwa tanpa keberpihakan pada yang tertindas adalah kemunduran moral. Jika kesadaran ini hanya mengalir dalam diam, ia akan mati tersumbat sampah ketidakpedulian. Maka puasa adalah pilihan, tetap terjajah oleh sistem yang merugikan rakyat, atau menjadikan diri sebagai senjata pembebas, Tanpa itu, sejarah akan mencatat kita bukan pemberi syafaat, tapi komplotan kezaliman yang memilih tidur nyenyak di tengah rancangan undang-undang yang merugikan rakyat.***

Bagikan :