DIRINYA dan deportan lain berada dikamar Rusunawa, ruangan dengan luas 6 meter persegi itu dihuni empat orang.
Tiga perempuan paruh baya yang ia temani itu seolah ragu membeberkan peristiwa yang dialaminya, ketika terjaring razia pendatang haram di Tawau bersama 147 Deportan.
Saat ditemui, ia terbangun, wajah pucat dan tampak lemas. Tak bermaksud membuat suasana tegang, wartawan bergeser ke lantai bagian bawah, namun dari pintu kamar tiba tiba anak itu menyapa ” Bapak Ada perlu apa dengan saya.”
Pertanyaan itu pun menyentak, pandangan tertuju ke anak itu lalu menghampiri tiga pewarta.
Mereka berjalan seolah sudah akrab sambil berbincang menuruni tangga lantai bawah ke sebuah warung di area rusunawa.
Ia bercerita membuka lembaran kisah yang dialaminya saat meninggalkan kampung halaman hingga Dideportasi.
Hari itu mungkin peristiwa berat baginya, bertolak dari kampung halaman Bulukumba Sulawesi Selatan hanya karna hendak menemui orang tuanya di Lahad Datu, Malaysia.
Kandas Di Kelas 2 SMP.
Ririn anak tunggal, orang tuanya merantau di Malaysia sejak 15 tahun yang lalu, selama ini diasuh oleh saudara ibunya.
Meski sempat lulus Sekolah Dasar namun ia kandas di kelas 2 SMP, bukan karena tinggal kelas, tapi sering mendapat bulliyan dari teman sekelasnya, akhirnya memutuskan keluar dari salah satu sekolah menengah pertama di Bulukumba 2019 silam.
‘ Saya berhenti sekolah karna sering diolok culun, kriting oleh teman kelas, bahkan saya sering dijambak,” akunya, Rabu (25/5) di kedai itu.
Karena prilaku teman sekelas sudah diluar batas, Ririn jarang terlihat di Sekolah, mengurung diri di kamar sesekali memohon ke orang tua asuhnya, membawanya ke Malaysia bertemu dengan ayah dan ibu kandungnya.
Tindak kekerasan yang dialami semasa sekolah tak ingin ada pihak Guru yang tahu apalagi bibi dan pamannya.
Meskipun ia sampaikan, kata Ririn mereka tidak memperdulikannya dan menganggap hal biasa, sebab hubungan kedua orang tua dan bibi asuhnya itu kurang harmonis.
” Tak mau cerita ke bibi karena tak peduli dengan ceritaku,” ucap anak tunggal itu.
Ririn hanya mampu meneteskan air mata sembari memandang foto kedua orang tuanya kala ingin mengobati rasa rindu, kalau kapan waktu bisa bertemu langsung dengan ayah dan ibunya di Lahad Datu, Sabah.
Berangkat Ke Tawau
Tahun lalu dengan bekal seadanya akhirnya nekat meninggalkan kampung halaman mengikuti paman dan bibinya ke pelabuhan Parepare menuju pelabuhan Tunon Taka Kabupaten Nunukan, dermaga terakhir sebelum masuk ke wilayah Malaysia.
Bersama paman dan bibinya, anak Sarifuddin ini lolos melintasi perbatasan, orang tua yang mengasuhnya itu tak sekedar mengantanya ke Malaysia, tetapi juga berencana mengais rezeki di Kota itu.
Namun sebelumnya ia menghubungi kerabat orang tuanya di sebuah perkampungan pesisir pantai agar mendapatkan tempat tinggal sementara di Tawau.
” Saya lewat jalur samping, karna kami tidak punya pasport, ada yang urus sampai Tawau,” ujarnya.
Sudah lima bulan, Ririn hanya menetap dirumah keluarga itu, ia tak berani keluar melihat gemerlapnya kota Tawau yang jaraknya satu kilometer dari perkampungan.
Ia hanya mampu memandang Cahaya lampu menembus gelapnya langit malam itu, terpaku dipinggir teras sambil menyilangkan kedua tangannya dibawah dagu dengan tatapan kosong.
Penantian bertemu sang ayah dan ibu tak kunjung tiba, kerinduannya pun meneteskan air mata saat menarik selimut dan merebahkan badannya dikarpet bulu ruangan tengah rumah itu, usai menikmati cahaya lampu kota dari kejauhan.
Keluarganya tak mengizinkan mereka keluar rumah pagi hari menjelang petang meskipun hanya dihalaman, karna khawatir ditemukan petugas pengawas berpatroli keliling kampung.
Sebelas bulan telah berlalu, akhir desember 2021 kabar keberadaan Ririn sampai dicamp buruh perkebunan sawit di Lahad Datu Sabah Malaysia.
Orang tuanya belum bisa ambil cuti saat itu, lantaran ikatan kontrak, keluarga itu hanya mampu melepas rindu melalui ponsel milik kerabat ayahnya.
Keduanya hanya sekedar bertanya kabar tak bisa melihat langsung anaknya yang kini telah remaja.
Beberapa bulan kemudian orang tuanya menyuruh Ririn melanjutkan Sekolah di Community Learning Centre (CLC) Indonesia bersama anak anak TKI lainnya di Tawau.
Walau tak berdokumen yang penting ada jaminan dari keluarga tempat ia tinggal di perkampungan itu.
Paman dan Bibinya pun setuju kalau Ririn harus melanjutkan sekolah, uang kiriman ayahnya juga mencukupi selain memenuhi kebutuhan sehari harinya.
” Bapak kirimkan uang tiap bulan melalui teman supir angkot Tawau-Lahad Datu, saya disuruh sekolah lagi, tapi saya takut,” ujarnya.
Keinginannya kembali melanjutkan pendidikan sederajat SMP seakan sirna, sebab khawatir dengan apa yang ia rasakan di kampung halaman terulang lagi.
Anak usia 15 tahun ini hanya ingin bertemu kedua orang tuanya dan membawanya menetap di camp perkebunan sawit tempat ayahnya bekerja.
Ririn tahu kalau orang tuanya sudah punya rumah sendiri di Lahad Datu saat Syarifuddin berkomunikasi dengan anaknya.
Bahkan memaksa agar ia dijemput di Tawau, kalau tidak maka Ririn akan meminta bantuan paman dan bibinya ke Lahad Datu, Sabah.
Syarifuddin tak mengabulkan permintaan anaknya justru meminta pertolongan adik iparnya, itupun butuh pertimbangan sebab tidak memiliki dokumen resmi.
Terjaring Razia Pendatang Haram.
Hingga pada januari 2022 keluarga ini nekat berangkat ke Lahad Datu, dalam perjalanan bahagia dan sumringah menyelimuti perasaan Ririn.
Namun kendaraan Bus yang ditumpanginya tiba tiba berhenti, perjalanan ke Lahad Datu tertunda.
Celakanya, mereka tidak tahu kalau ada pemeriksaan rutin, petugas mencium aroma illegal saat dalam perjalanan.
Petugas imigrasi dan reskrim kepolisian Malaysia menghampiri roda empat itu, dan meminta Pasport, Kartu Identitas kepada penumpang.
Tak mampu menunjukkan dokumen, akhirnya Ririn, Paman dan Bibinya terjaring razia, ketiganya diamankan oleh pihak berwajib kota itu bersama TKI lain yang juga tidak dilengkapi dokumen keimigrasian.
Semua penumpang terjaring diamankan ke mobil patroli, hingga tiba di kantor Imigrasi setempat untuk pemeriksaan lebih lanjut.
“ Saya ketemu Bapak saat kendaraan berhenti, hanya melihatnya dari keajuhan, karena seluruh penumpang diperiksa,” kata Putri Syarifuddin ini.
Ririn ditahan di kantor Imigrasi Tawau selama lima bulan, sedangkan paman dan bibinya masuk lokap (penjara) saat ini.
“ Saya tidak dipenjara karena masih dibawah umur jadi hanya ditahan di imigresen Tawau,” ungkapnya.
Kedua orangtuanya sudah tahu kalau Ririn sudah dipulangkan ke Indonesia, pada Selasa sore (24/5) bersama deportan lainnya, sebanyak 100 orang pria dan 31 wanita dewasa, 8 anak lakilaki dan perempuan.
“ Kalau Kembali saya mau tinggal dirumah saja, tidak mau sekolah lagi,” ucapnya.
Kini ia putus komunikasi dengan orangtuanya yang jauh ditanah rantau negeri jiran Malaysia.
Rencananya BP2MI Nunukan akan memulangkan Deportan, Jumat (malam ini) ke kampung halaman masing-masing.
Namun saat ini mereka masih dikarantina dirusunawa untuk mendapatkan pelayanan kesehatan termasuk Vaksinasi Covid 19 sebelum bertolak dari Kabupaten Nunukan.
Penulis : Taufik