NUNUKAN, marajanews.id – Terancam tempat penjemuran rumput laut milik mereka akan tergusur, 5 petani rumput laut di Nunukan, Abdul Rahman, Risal, Asri, Herman dan Made menyurati DPRD Nunukan, mengadukan keresahan terkait hal itu.
Dikatakan, penjemuran rumput laut mereka yang berlokasi di kawasan jalan Lingkar, Nunukan akan tergusur dengan adanya kegiatan penimbunan lahan oleh warga yang mengklaim sebagai pemilik areal dan meminta para pemilik tempat penjemuran rumput laut dimaksud membongkar bangunan penjemuran rumput laut milik mereka.
Menanggapi pengaduan itu, Jum’at (23/6/2023) lalu sejumlah anggota DPRD Nunukan, menggelar kegiatan Rapat Dengar Pendapat guna memperoleh kejelasan terhadap permasalahan yang menjadi kekhawatiran sejumlah petani rumput laut dimaksud.
Dalam kegiatan RDP yang dipimpin langsung oleh Ketua DPRD Nunukan, Rahma Leppa, selain dihadiri oleh salah seorang perwakilan petani rumput laut bernama Abdul Rahman, juga dilibati oleh beberapa pimpinan atau perwakilan instansi terkait.
Pada penuturannya, Abdul Rahman mengatakan, kawasan yang selama ini dia dan keempat rekannya jadikan lokasi tempat membangun penjemuran rumput laut tersebut dianggap sebagai lahan milik pemerintah.
Namun belakangan, kata Abdul Rahman, ada warga yang datang mengaku sebagai pemilik lahan meminta mereka membongkar penjemuran rumput laut yang sudah cukup lama dibangun dengan alasan akan melakukan penimbunan.
Bukti bahwa bangunan penjemuran rumput laut mereka masuk dalam bagian lahan yang akan ditimbun, katanya lagi, dengan adanya tanda patok batas lokasi yang akan ditimbun oleh warga yang mengklaim sebagai pemilik lahan.
Menyampaikan keresahan kami ke DPRD, untuk memastikan, siapa sebenarnya pemilik lahan tersebut. Milik pemerintah atau perorangan. Jika benar milik orang pribadi, kami siap untuk melakukan pembongkaran,” kata Abdul Rahman.
Dalam kegiatan RDP di DPRD Nunukan saat itu, justru yang menghangat dibahas adalah persoalan bagaimana bisa sehingga kawasan bibir pantai tersebut bisa menjadi hak milik pribadi masyarakat yang dibuktikan dengan kekuatan kepemilikan sertifikat.
Seperti dikatakan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Nunukan, Abdi Jauhari, bahwa berdasar titik koordinat yang diperoleh, lokasi lahan yang dipersoalkan masuk di dalam wilayah garis sempadan pantai yang dibuat oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) di Jakarta.
Menurut Abdi, segala aktifitas di atas sebuah lahan, baik untuk usaha maupun non usaha harus dilengkapi perijinan. Termasuk kegiatan penimbunan di kawasan bibir pantai. Diduga, mis komunikasi terkait legalitas kepemilikan lahan dan ijin aktifitas penimbunan yang berlangsung menjadi penyebab munculnya permasalahan ini.
“Mungkin sebaiknya, kita harmonisasi terlebih dahulu tentang kapan masterplan jalan dibuat oleh Dinas PU, kapan ekisting jalan dan kapan sertifikat yang dimiliki oleh warga tersebut diterbitkan,” kata abdi yang menyarankan Plotting batas lahan yang sudah bersertifikat tersebut perlu direvisi Kembali,” tegas Abdi.
Mewakili Kasat Pol PP Nunukan, Asmuni menegaskan pihaknya sudah sejak lama menyampaikan kepada masyarakat terkait pelarangan adanya kegiatan tidak berijin di Kawasan bibir pantan jalan lingkar. Diantaranya dengan memasang sejumlah papan pengumuman terkait larangan dimaksud. Namun diantara lain kendala yang kerap dihadapi di lapangan, adanya bukti kepemilikan lahan berupa sertifikat oleh masyarakat pelaku kegiatan.
Namun untuk kasus penimbunan lahan di bibir pantai jalan lingkar yang dikeluhkan sejumlah petani rumput laut itu, berdasar penelusuran Sat Pol PP, mereka mendapati sertifikat itu diterbitkan pada tahun 2008 sedangkan aktifitas pembangunan jalan yang dilaksanakan pemerintan ditempat itu mulai berlangsung beberapa tahun sebelumnya.
“Sehingga perlu dipertanyakan, bagaimana bisa sertifikat dimaksud bisa diterbitkan setelah adanya kegiatan yang dilakukan pemerintah di lokasi tersebut,” kata Asmuni.
Dari Kabid Tata Lingkungan dan Penataan Hukum pada Dinas Lingkungan Hidup Daerah (DLHD) Kabupaten Nunukan, Ahmad Musafar, menegaskan bahwa sertifikat kepemilikan atas sebuah lahan, bukan merupakan dasar untuk melakukan suatu usaha atau satu kegiatan. Terlebih pada kegiatan yang berpotensi berdampak pada lingkungan.
Hal itu, menurut Musafar, ditegaskan dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, dijelaskan dalam Pasal 6, bahwa setiap usaha atau kegiatan yang wajib memiliki Amdal atau UPL dan UKL, wajib memiliki Ijin Lingkungan.
Sedangkan pada UU Nomor 6 tahun 2003 tentang Penetapan Perpu Nomor 2 tahun 2022 tentang cipta kerja, menyebutkan ada 3 dasar perijinan. Masing-masing Kesesuaian Lahan, Persetujuan Lingkungan, berikutnya terkait IMB dan lain sebagainya.
Semua persyaratan tersebut, kata Musafar, harus dilewati terlebih dahulu. Usaha yang dimulai tanpa ijin, itu ada hukumnya. Walai pada aturan terbaru sanksi yang diberikan lebih lunak karena hanya berkonsewensi sanksi administrative, penggantian usaha sampai dikenakan denda.
Namun bisa masuk dalam konsekwensi pidana apabila terjadi kerusakan lingkunag yang luas atau ada korban jiwa,” tegas Musafar.
Atas segala masukan yang diperoleh dari berbagai instansi berkompeten terkait, hasil dari keputusan Rapat Dengar Pendapat saat itu, DPRD Nunukan menyimpulkan bahwa aktifitas penimbunan di bibir pantai Jalan Lingkar dimaksud untuk sementara dihentikan dan akan merekomendasikan kepada Bupati Nunukan untuk membentuk sebuah Tim Terpadu guna menelusuri kasus penimbunan lahan di bibir pantai dimaksud. Termasuk penyelesaian masalah yang terjadi.#Adv.